Sabtu, 17 Agustus 2013

Lagu-lagu langganan telinga.

P.S.: Maaf kalau post ini sedikit 'keluar jalur' di Hari Kemerdekaan Indonesia. Sebenarnya banyak yang mau diomongin tentang negara kita ini, tapi karena yang keluar ide untuk bikin post ini, mungkin lain kali aja aku ringkas tentang Indonesia.
Walaupun begitu, aku mau ngucapin selamat ulang tahun tanah air-ku! Tangan-tangan kami siap membenahimu! Biarkan sampah-sampah omong kosong mereka hilang jadi abu, nanti kita 'kan bersihkan hingga tersisa debu. Sebenarnya, aku nggak ngucapin ulang tahun ke siapa-siapa, tapi justru ke diri sendiri. Negara kita merdeka karena pahlawan, kita sekarang hanya menikmati air dan tanahnya. Kita yang bertanggung jawab sepenuhnya. Semoga rasa nasionalisme kita tertanam dalam hati, supaya generasi nggak makin rusak gara-gara kultur nggak jelas dari negeri yang jauh disana. Amin.
Aku ganti topik yah. *Minta izin dulu*

Kebiasaan aku kalau lagi ngerjain tugas, baca buku atau browsing adalah nyalain musik atau tv (padahal nggak ditonton. Sayang listrik yah). Biar ada temennya. Kalau ada suara, khususnya musik, aku ngerasa nggak sendirian. Rada aneh sih, tapi udah sering banget ngapa-ngapain sambil denger musik (I'm not using any headphones currently, so it prevents my ears..). Yang susah itu, gimana caranya kalau mau ngehapalin materi atau serius ngerjain tugas tapi malah kebawa nyanyi. Itu godaannya. Pinginnya nyanyi terus. Padahal tugas numpuk. Hehehehe.

Beberapa minggu terakhir, ada beberapa lagu/band yang jadi langganan kuping nih. Emang enak-enak banget sih, jadinya nagih. Tapi aku juga sering ngubek-ngubek library. Kalau artisnya jarang di-play, baru deh didengerin lagi. Eh ternyata, mengulang kembali kenangan lama.. hehehe. Mulai aja ya:

1. Savoir Adore - Dreamers.



Catchy dan nggak bikin bosen. Lagu electronic-pop ini lebih dikenal karena muncul di Pro Evolution Soccer 2013, tapi aku pertama kali denger mereka gara-gara recommendation di Last.fm. Eh, asik juga lagunya. Yang bikin lagu ini enak itu kombinasinya. Bagian suara laki-laki dan perempuannya. Kalau berkali-kali dengerin, pasti langsung nempel deh. Band asal New York ini emang masih kurang nampil. Tapi so far aku suka banget gaya musiknya. Ringan tapi enak di telinga. Ada atmosfir-atmosfir ceria dan jatuh cinta gitu. *ceilah*

2. Alt-J with their Breezeblocks.



Don't have any idea.
Pertama-tama dengerin, jenis musiknya mirip sama Radiohead nih. Sama-sama dari Inggris pula. Sebenernya aku dengerin semua lagu Alt-J dan suka semuanya. Tessellate, Something Good, Fitzpleasure, Dissolve Me, Matilda dll. Musiknya pinter dan antik. Aku nge-fans sama vokalisnya.. Joe Newman. Suaranya ngasal-ngasal males tapi aduh keren-able gitu.. *lebay* Tapi serius deh. Coba aja dengerin. Tapi emang jenis band yang kusuka itu yang mirip-mirip Alt-J, bisa dibilang experimental, alternative rock. Pokoke ajib dah. Btw, debut album mereka menang British Mercury Prize 2012 lhooo. (After read that last sentence, I know you guys say this to yourself: terus?)

3. Fitz and The Tantrums - Fools Gold.


"But fools gold shines, like diamonds in our eyes,
Thought we had a million, but baby, we got nothing
But fools gold shines like words that make us cry,
We just keep on digging, find us something better,
for the next time, next time
Something better for the next time, next time.."

Kalau lirik lagunya dibaca biasa tanpa denger lagunya, kira-kira temponya gimana?
Lagu dari Fitz and The Tantrums ini bikin semangat. Lagunya juga gampang diinget dan berasa seru. Pas lagu ini diputer di mobil, Bapak nanya yang nyanyi siapa, beliau bilang suara vokalisnya mirip sama Hall & Oates. (Lupa Daryll Hall atau John Oates-nya, hehehe). Lagu ini gimana ya, ngajak kita buat joget sambil nyanyi deh intinya. Kerasa banget indie pop-nya.

4. Justin Timberlake - Mirrors.


Kayaknya nggak perlu aku cantumin widget video/audio lagu ini deh. Kalian pasti sering banget denger di radio. Pas pertama kali denger lagunya, aku nggak tau siapa yang nyanyi dan cuek-cuek aja gitu. Nggak begitu merhatiin lagunya.
Suatu hari yang cerah, aku nge-switch channel tipi yang nampilin video klip lagu ini. Aku juga butuh 1-2 kali nonton video klip dan baru 'ngeh' kalau ini lagunya Justin Timberlake dan yang sering diputerin di radio. Aku nonton lagi video klipnya. Dan akhirnya lagu ini sukses memenuhi pikiran dan jiwa raga *lebay lagi*. Justru karena videonya itulah, aku jadi suka denger lagu ini. Berulang-ulang. Selain lirik lagunya yang romantis (silakan dibaca sendiri ya lirik lagunya), konsep videonya bagus dan artistik, nggak murahan deh pokoknya. Aku suka dengerin lagu ini yang panjang lagunya sekitar 8 menit. Lebih kerasa, hehehehe. FYI (Although It's unimportant at all), I did a research about who are the couple real name on the picture above. And I only got the girl's name.. I'm going back to the research sooner.

5. St. Lucia with their Before The Dive.


This song stuck in my head now and forever.
Bagian awal lagu ini mengingatkanku dengan lagunya Skrillex yang Equinox (First of the Year). Lagu ini juga nggak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Mengalir. Halah. Asik banget lagunya, ngajak nyanyi bareng. Selain Before The Dive, coba dengerin Closer Than This sama All Eyes On You. Enak-enak deh St. Lucia!

6. Stars - Dead Hearts.



Pertama kali denger pas nonton Like Crazy, dan menurutku lagu ini describe the film perfectly. Dimulai dengan dentingan piano riang, lalu reff yang sedikit sedih. Lirik lagunya juga nancep banget kok. Ketika denger Savoir Adore, aku keinget sama Stars, karena di lagu ini persis laki-laki dan perempuan juga yang nyanyi. Hampir mirip.

7. Blur with their Coffee and TV.


If someone says 'old music never die', I think I should agree.

Band Indie Rock yang lagi-lagi berasal dari Inggris dan baru saja singgah di negeri kita tercinta  ini kental dengan eksperimen dan keabstrakannya. Ada drum, ada gitar, musik yang nggak akan pernah membuatmu bosan. Kalau beberapa musik yang aku mention sebelumnya erat dengan electronic music, Blur beda.
Nggak ada komentar deh. Let's just listen to this song while we're driving home....

Sebenernya masih banyak lagu yang keep on repeat. Satu album Random Access Memories masih aku dengerin. Lagunya Kaiser Chiefs yang Ruby. San Cisco, Coldplay, Death Cab For Cutie, Breakbot, Avicii, The Lumineers.. Mungkin nanti bakalan aku post lagu-lagu favorit all-time versi aku. Kalau kalian?

Kamis, 15 Agustus 2013

Book review: 1Q84 (Book 1).


Judul: 1Q84. (いちきゅうはちよん Ichi-Kyū-Hachi-Yon) Jilid 1.
Pengarang: Haruki Murakami.
Rilis (Jepang): 2009.
Rilis (Indonesia): Mei 2013.
Penerjemah: Ribeka Ota.
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia.
Tebal: 516 halaman.
ISBN: 978-979-91-0567-7

SINOPSIS:
Sinfonietta dari Janáček mengalun di udara. Aomame menghembuskan nafasnya perlahan.
"Jangan sampai tertipu penampilan. Kenyataan selalu hanya ada satu." Ucap sang sopir taksi ditengah kemacetan.
Aomame tidak pernah tergesa-gesa dalam memindahkan seseorang ke dunia lain. Hanya dirinya sang professional, pengirim nyawa dengan satu ketukan yang membuat semua orang percaya bahwa 'Laki-laki itu mati karena sakit jantung'. Bukan tak beralasan. Ia bisa melakukannya demi membayar mereka yang terampas kebahagiannya, khususnya korban dari seorang bajingan.
Namun lama kelamaan, Aomame tersadar ada yang tidak beres dengan otaknya. Tidak, bukan karena Ia tidak merasa bersalah ketika membasmi para bajingan itu, tetapi ada satu memori yang menghilang begitu saja dari otaknya.
Baku tembak dengan grup ekstremis di pegunungan Yamanashi. 3 orang polisi tewas.
Tidak mungkin otaknya melewatkan berita ini. Tidak mungkin pula otaknya melupakan berita ini begitu cepat. Aomame berasumsi bahwa dunia ini mulai aneh. Atau mungkin, dirinyalah yang aneh. Hipotesisnya, dunia ini adalah dunia paralel, dunia baru yang tak pernah Ia lewati sebelumnya, dimana ada dua rembulan di angkasa. Ia menyebutnya 1Q84.

Tengo Kawana hidup sebagai novelis yang belum menerbitkan karyanya. Bersama Komatsu, seorang editor penerbit buku, mereka menemukan sebuah naskah cerita brilian dalam lomba sastra yang sayangnya kurang matang dan kaku. Tengo berusaha meyakinkan bahwa naskah ini luar biasa dan sangat memikat, tapi berbeda dengan Komatsu yang tidak begitu yakin. Namun sebuah ide muncul demi memenangkan naskah ini. Komatsu membuat sebuah tim 'illegal' demi naskah itu dengan meminta Tengo menulis ulang cerita tersebut.
Kepompong Udara, judul naskah tersebut, mulai membuat Tengo tidak bisa tidur. Muncullah Fuka-Eri, penulis Kepompong Udara, yang pendiam dan tak memiliki ekspresi di wajahnya namun terlihat cantik. Tengo kira semuanya akan berjalan dengan mudah, namun ternyata Ia harus terseret kedalam masa lalu Fuka-Eri dan bertemu dengan Professor Ebisuno, wali Fuka-Eri. Tengo semakin bingung ketika mengetahui bahwa Fuka-Eri memiliki disleksia. Beberapa fakta menyeruak, membuat situasi semakin rumit.
Tengo dan Komatsu akan membuat Fuka-Eri menjadi fenomenal.
Orang kecil, kata Fuka-Eri. Mereka ada.
Fuka-Eri bukan gadis biasa, ujar Tengo. Ia istimewa.

Sebuah komune bernama Takashima muncul dan dibentuk oleh Tomatsu Fukada, sebuah dosen di universitas. Komune tersebut kemudian diganti dengan Sakikage, yang meluas dan memiliki banyak anggota dari berbagai kalangan. Dengan Fukada sebagai pemimpin, Sakikage tumbuh dalam perpecahan menjadi dua faksi, dengan satu komune yang dibentuk para mahasiswa dinamakan Akebono, yang pernah terlibat dalam baku tembak di dekat danau Motosu, pengunungan Yamanashi.

Lalu, apakah hubungan antara semua ini?
Aomame, wanita pengirim nyawa lelaki bajingan ke dunia lain. Hidup diantara kebimbangan, di kelilingi oleh orang-orang yang berlatar belakang aneh, mencari arti dari dua rembulan. Bertahan hidup hanya dengan sebuah kenangan 20 tahun lalu, ketika Ia memegang tangan seorang laki-laki dan jatuh cinta dengan laki-laki itu. Tapi Ia tidak pernah tahu dimana laki-laki itu sekarang. Tidak ingin tahu dan tidak ingin mencari tahu. Ia percaya pada takdir.
Tengo, Fuka-Eri, Professor Ebisuno, Komatsu, Tomatsu Fukada bahkan Orang Kecil... biarkan mereka menemukan ceritanya sendiri....

REVIEW:
Gimana ya, sepertinya buku ini agak sulit untuk dijelaskan. Sangat kompleks. Tapi berhubung aku baru baca yang jilid satu saja, masih sedikit gampang dipahami-lah ya.. Tapi capek juga, soalnya harus ngerti beberapa istilah yang masih asing. Kalau kalian udah baca sinopsis diatas tadi, pasti jadi bingung kan? Aku aja yang sudah baca masih agak bingung. Hehehehe.
Kalau agak hint, sebenarnya inti cerita 1Q84 adalah kisah cinta lho.
Tambah bingung?
Jadi begini, Aomame memang seorang pembunuh. Saat masih kecil, Aomame hidup dengan keluarganya yang taat pergi ke gereja dan berceramah dari pintu ke pintu. Tetapi ia meninggalkan keluarganya lantaran ingin mencari kebebasan.
Sedangkan Tengo yang memiliki tubuh besar, saat kecil sering sekali menemani ayahnya yang bekerja sebagai penagih pajak. Mereka berdua bertemu.
Selang duapuluh tahun, mereka menginjak bumi yang sama. Keduanya berada dalam garis kebingungan. Namun seiring waktu, garis itu saling mendekat dan mereka dipertemukan.
Di dunia yang sudah nggak wajar dan dibatasi oleh jarak, keduanya mencari satu sama lain.
TADA.
click here for credit
Sejujurnya, aku suka sekali cerita 1Q84 Jilid 1. Unik, berbeda, dan nagih buat dibaca. Banyak sekali misteri yang terselip. Bahkan mungkin hampir semua rahasia ada di buku pertama.
Ada apa degan Fuka-Eri? Dalam konteks cerita, ia adalah pusat 1Q84. Karena keberadaan  Fuka-Eri inilah, cerita menjadi sangat kompleks. Yang belum kuceritakan, Aomame sebenarnya membunuh bukan karena keinginannya, tetapi ia memiliki kontrak dengan wanita tua yang membayarnya. Lagipula, yang ia lakukan adalah untuk kebaikan.
Tuturan buku ini sangat enak dan juga mengundang tawa. Di beberapa bagian awal, aku dibuat tertawa karena sifat Aomame yang pingin serba instan. Lalu percakapan Tengo dengan Fuka-Eri yang saling melengkapi. Percakapan Tengo dengan Komatsu juga terdengar cerdas karena mereka sering banget pake bahasa kiasan. Maklum, keduanya hidup di dunia sastra.
Kebanyakan terdengar serius dan berat, tapi justru itulah petikan-petikan penting dalam cerita.
Ini buku kedua yang kubaca dari Haruki Murakami. Setelah selesai baca Norwegian Wood, aku langsung cepet-cepet baca 1Q84 karena masih kerasa atmosfir Jepang-nya. Keseluruhan buku ini, hmmm lumayan. Idenya bisa kebaca, walaupun kompleks, tapi penasaran dan pingin cepat-cepat selesai. Haruki Murakami ini kok bisa gitu ya kepikiran tentang sebuah cerita dalam cerita yang ampunnn deh, ribetnya. Aku mau lanjutin Jilid 2 tapi agak mager nih, huhuhu..
Untuk sementara, jilid 3 belum rilis. Semoga secepatnya.
At leats, 4.4 stars of 5. Memungkinkan ratingnya turun kalau jilid kedua bikin tambah bingung. Mungkin aku jadi bingung juga karena masih muda ya. Belum banyak baca-baca buku sejenis ini. Hehehehe.

Minggu, 11 Agustus 2013

Between Kaiser Chiefs, there's you and me.

Pictures courtesy to tumblr. Edited by me. :)
Bel keempat tanda pulang dibunyikan tetapi aku masih sibuk di mejaku. Buku catatan, modul, bahkan jurnal harianku masih tertumpuk di meja. Hampir semua murid sudah berhamburan keluar kelas, termasuk Sierra yang harus mengikuti kursus balletnya. Untungnya aku tidak sendiri; masih ada beberapa temanku yang sibuk membicarakan tugas dan membaca buku-buku tebal di kursi mereka. Aku masih mencatat tulisan Mr. Hadwick (yang sangat sulit dibaca) dari papan tulis. Sebagian dari teman-temanku lebih suka memotret catatan para guru dibanding menulisnya, sedangkan aku kebalikannya.
Kelas yang kutempati saat ini sedikit lebih ‘modern’ dibanding kelas sebelumnya. Ada banyak perangkat, papan tulis pun mengkilat bersih (sepertinya baru dibeli), kursi-kursi empuk yang tidak kaku seperti kayu. Saat pelajaran berlangsung, aku memikirkan bagaimana jika aku tertidur di kelas karena kursi ini hampir mirip tempat tidur bagiku. Ada lemari besar untuk buku, jendelanya banyak, jadi aku bisa melihat keluar.
Saat aku hampir menyelesaikan catatanku, tiba-tiba aku melihat seorang laki-laki yang berdiri di depan pintu. Ia mungkin ragu-ragu antara masuk ke dalam kelasku atau tidak. Aku tidak pernah melihatnya sebelumnya. Tetapi ternyata Ia berjalan masuk begitu saja, duduk di kursi sampingku dan tak mengucapkan apapun selama beberapa menit. Sebelum ia berjalan ke arahku, aku mengira Ia mungkin pacar Ann, perempuan yang sedang membaca buku itu, atau mungkin ada barang miliknya yang tertinggal di kelas ini. Tapi ia malah duduk di sebelahku, dan memperhatikanku menulis catatan itu.
“Hai,” ucapnya kemudian, sembari menaruh ransel hitamnya ke atas meja. Aku menatapnya sekilas dan ikut tersenyum. “Pelajaran Mr. Hadwick, ya? Tulisannya khas sekali.” Aku tertawa kecil dan merapikan tempat pensilku. Ia terlihat seperti memikirkan sesuatu, saat itu aku tidak tahu apa yang dipikirkannya.
“Mungkin ini akan terdengar canggung,” Ia memiringkan wajahnya. “Tapi aku ingin mengetahui namamu.” Matanya yang berwarna biru gelap bertemu mataku lagi. Dari awal aku tidak merasa canggung dan ‘terpaksa’ ketika Ia duduk disampingku. Ia terlihat nyaman, aku pun begitu. “Boleh kan?”
Aku mengangguk dan tersenyum, kali ini memamerkan barisan gigiku. “Ruby. Namaku Ruby Cattleree.”
Ia tersenyum begitu lebar, sampai-sampai aku hampir tertawa. Rambutnya hitam dan sedikit berantakan. Barisan giginya rapi sekali. Aku tidak tahu Ia kelas berapa, bahkan tidak pernah melihat laki-laki ini sebelumnya. Namun tiba-tiba Ia masuk, duduk disebelahku, menyapa dan menanyakan namaku. Sedikit aneh memang, dan agak berbahaya karena aku tidak mengetahui sedikitpun tentangnya, tetapi aku merasa Ia orang yang baik. Caranya duduk dan menatapku sangat mirip dengan gaya Dad. Itulah alasanku merasa nyaman saat Ia mencoba berbicara denganku.
“Aku suka namamu.” Ucapnya setelah beberapa menit berlalu. “Mengingatkanku dengan lagu Kaiser Chiefs.” Dari sekian orang yang baru berkenalan denganku, semuanya mengatakan bahwa namaku mengingatkan mereka dengan batu permata berwarna merah muda. Tapi Ia berbeda, namaku mengingatkannya dengan salah satu lagu band dari Inggris yang bahkan belum pernah kudengar. “Kau harus mendengarnya.”



Ia mengetuk-ngetuk jarinya di meja dan mulai bernyanyi. Let it never be said that the romance is dead, 'Cause there's so little else occupying my head... there is nothing I need except the function to breathe, But I'm not really fussed, doesn't matter to me..”
Aku teringat pernah mendengarnya di radio mobil Dad sekitar beberapa bulan lalu. Tapi aku tidak tahu siapa yang menyanyikannya, akupun tidak bertanya. Aku mengingat bagian awal lagunya. Saat itu ketika mereka berada di mobil dan memutar lagu ini, Dad menyanyikannya keras sekali. 
Laki-laki yang tak kuketahui namanya itu tersenyum dan menatapku, lalu berkata, “Lagu yang bagus. Favoritku.”
Aku terdiam karena tidak mengetahui apapun mengenai lagu itu. Sebetulnya, akupun pemalu. Semua barang di atas mejaku sudah masuk ke dalam tas, sedangkan laki-laki itu masih duduk di sebelahku. Sebentar-sebentar kepalanya memandang keluar kelas, terkadang ikut membaca tulisan Mr. Hadwick. Namun saat ini Ia memandangku dengan menopang wajahnya dengan jarinya yang panjang namun kurus.
“Aku akan mendengarnya sepulang sekolah.” Akhirnya aku bersuara. Wajahnya mendongak ke arahku dan rasanya semua syaraf di wajahnya tertarik karena senyumannya, seakan-akan Ia berkata: ‘Itu jawabanmu yang kutunggu-tunggu!’
“Aku yakin kau akan menyukainya.” Sudahkah kubilang bahwa suaranya sangat enak didengar? Tidak berat, tidak juga melengking, biasa-biasa saja, tetapi sangat enak di telinga. Ia tiba-tiba menaruh tasnya di pundak dan berdiri. “Aku harus pergi. Sampai jumpa, Ruby.”
Saat itu Ia tersenyum lagi dan melambaikan tangannya kepadaku, lalu mulai berjalan pergi. Langkahnya lambat dan sesekali Ia memandangku. Aku tidak bisa menyembunyikan wajahku yang memerah, tetapi aku tahu apa yang ia pikirkan saat Ia melangkah pergi.
“Hei fan Kaiser Chiefs!” Ia berhenti tepat di tengah pintu, lalu menoleh kearahku, menatapku seolah-olah ia tidak menginginkanku untuk memanggilnya. “Aku berjanji padamu aku akan mendengarkan lagu itu,” Aku sedikit malu saat menatapnya. “Tapi rasanya aneh jika aku berjanji dengan seseorang yang tidak kuketahui namanya.”
Ia sedikit tertawa dan menatap sepatunya. "Panggil saja Gerard.” Kukira saat itu Ia akan keluar dan meninggalkanku, tetapi ia malah mendekat dan berdiri di depan mejaku. “Sebenarnya aku tidak ingin pergi, tapi aku harus.”
Aku masih di sini, batinku.
“Cobalah untuk mendengar lagu itu sambil membaca lirik lagunya.” Pesannya sambil menatapku lekat-lekat. “Kita pasti akan bertemu lagi.”
“Kita pasti akan bertemu lagi,” Aku mengulang kalimatnya. Aku tidak begitu mengerti tentang apa yang Ia katakan mengenai ‘kami akan bertemu lagi’, karena.. rasanya aneh, namun aku mengharapkannya juga. ”Aku sangat senang bisa berbicara denganmu, Gerard.”
“Aku juga.” Lalu Ia melangkah keluar, tersenyum dan menghilang di kerumunan koridor ketika aku mencoba mencarinya.
Gerard dan Kaiser Chiefs. Aku mencoba mengumpulkan semua informasi tentangnya. Lalu aku berpikir apakah yang menyebabkannya begitu terburu-buru untuk pergi. Tapi aku tidak tahu, mungkin Ia harus menjemput Ibunya atau membeli sesuatu. 
Ini aneh. Aku pernah berkenalan dengan banyak orang, tapi.. tidak ada yang seperti dirinya. Ia menyuruhku mendengarkan sebuah lagu yang hampir saja terlupakan oleh diriku sendiri. Ia tersenyum seakan-akan aku adalah temannya. Tapi tidak, kami baru saja berkenalan tadi, selama hampir dua tahun berlalu aku bersekolah di sini. Aku memikirkan berbagai kemungkinan. Mengapa Ia berkenalan denganku? Mengapa tidak dengan yang lainnya? Entahlah. Jika kami tidak berkenalan dan mengobrol, mungkin Ia tidak akan menyuruhku mendengarkan lagu Kaiser Chiefs. Dan Gerard, mungkin Ia satu-satunya orang yang membuatku tergerak untuk melakukan apa yang Ia minta ketika pertama kali bertemu dengan seseorang yang tidak pernah kukenal.
Ketika aku meninggalkan sekolah, aku langsung pergi ke toko kaset Webble yang sering sekali kudatangi bersama Dad dan August. Semua CD Kaiser Cheifs, jawabku kepada wanita muda yang sepertinya penjaga baru di toko ini saat Ia bertanya album apa yang kucari. Ia lalu menunjukanku lemari bagian album yang disortir dari nama band berawalan K. Wanita itu mengambilkanku dua album Kaiser Chiefs, yang hanya tersisa tinggal satu-dua saja. Ia meninggalkanku dan kembali ke mejanya.
Album yang kupegang saat ini berjudul Employment.Tampilannya sederhana namun memikat, berwarna biru jeans degan kertas kuning bertuliskan nama band dan nama album mereka. Album satunya lagi berjudul Yours Truly, Angry Mob yang sama sederhananya, namun kali ini seluruh anggota band itu terlihat di sampul kover, menatap kamera namun tidak berpose. Ketika aku membalikkan kedua album itu, terdapat barisan judul lagu dan ada, satu judul yang menarik hatiku.
Lagu di urutan pertama, judulnya Ruby. Aku langsung mengambil kedua album itu ke meja kasir. Siapa tahu Dad juga menyukai album ini. Wanita muda itu lalu menatapku, “Pilihanmu bagus sekali,” Ia terlihat ramah. “Kau suka mendengarkan mereka?”
“Aku baru saja ingin mendengarnya.” Aku mengambil uangku, lalu mengambil kedua album tadi. Wanita itu mengangguk, lalu tersenyum.
“Terima kasih. Silakan kembali lagi kemari.” Aku berbalik dan pulang ke rumah, menenteng plastik berisi kedua album Kaiser Chiefs, gara-gara seorang lelaki bernama Gerard yang baru saja kutemui.
Aku tersadar bahwa hari ini adalah hari yang istimewa. Hari ini, aku bahagia.

(bersambung)

Jumat, 09 Agustus 2013

Book review: Norwegian Wood.


Judul asli: ノルウェイの森 Noruwei no Mori.
Pengarang: Haruki Murakami.
Rilis (Jepang): 1987.
Rilis (Indonesia):

  • Cetakan Pertama, Juli 2005.
  • Cetakan Keempat, Mei 2013.
Penerjemah: Jonjon Johana.
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia.
Tebal: 426 halaman.
ISBN: 978-979-91-0563-9.

SINOPSIS:
"I once had a girl, or should I say, she once had me.."
Petikan gitar Reiko Ishida yang halus mulai memainkan lagu The Beatles yang berjudul Norwegian Wood, lagu favorit Naoko. Malam yang hanya ditemani lilin kecil membuat ruangan mereka bertiga itu menjadi tempat Toru Watanabe berpikir keras mengenai apa yang telah Ia lalui, khususnya bersama Naoko.
Mengungkap kembali masa lalunya, Toru menyusuri Tokyo, mengarungi pertemanan dan percintaan, hampa dan kehilangan, serta pertemuan dan perpisahan. Hingga suatu hari, sosok Midori Kobayashi, yang datang tanpa diundang, membuat seluruh rencananya berubah seketika.
Saat itulah Toru harus memilih. 


REVIEW:

Pertama melihat buku ini di Goodreads, dengan rating yang cukup tinggi kala itu. Tapi nggak penasaran sama buku ini, karena emang nggak ngerti apa bagusnya. Cuma, gara-gara judul buku ini, jadi sempet dengerin lagunya The Beatles yang Norwegian Wood (The Bird has Flown) yang memang enak + kedengeran ringan dan jenis lagu yang bisa nemenin perjalanan di mobil.
Malahan sempet mikir karena judulnya 'Hutan di Norwegia' mungkin buku ini tentang seseorang yang punya hutan. Eh ternyata diambil dari judul lagunya The Beatles, yang ternyata juga, lagu favorit seorang tokoh dalam buku ini.

  
Saya sudah membaca sinopsis bukunya di Wikipedia berulang-ulang tapi masih nggak 'ngeh sama inti ceritanya, dan baru tahu kalau ada versi filmnya yang dirilis tahun 2010 (Kenichi Matsuyama as Toru, Rinko Kukichi as Naoko and Kiko Mizuhara as Midori.). Ketika melihat buku ini terpampang di New Release, nggak pake mikir langsung ambil. Daripada seumur hidup nggak ngerti sama cerita bikinan master Murakami, mending langsung baca aja. Dan eh, I think I'm too young to read this... (hehehehe).
Sejujurnya, saya suka sama tokoh Toru yang lempeng, biasa-biasa aja, tapi mudah bergaul dan berbicara yang penting-penting doang, walaupun di dalam novel ini Ia sendiri mengakui bahwa dirinya tidak memiliki banyak teman. Gimana ya, kadang-kadang si Toru ini lucu-able, kadang-kadang terlalu dewasa, kadang-kadang malahan kayak anak kecil. Tapi dari keseluruhan novel ini, jelas karakter favorit saya itu Midori Kobayashi! Walaupun cenderung cerewet karena Toru yang pendiam, Midori lucu dan peka, berusaha ngasih 'kode' tapi tetep sabar, berani dan nggak berlarut-larut dalam kesedihan. Istilahnya, Midori ini always ceria, walaupun hatinya mendung.
Dibawakan dengan alur yang agak lambat, menceritakan kisah transisi dari remaja menjadi pra-dewasa. Lucu dan menghibur, cerita yang unik namun terlampau mendetail, terutama mengenai hal-hal dewasanya. Sempet 'iyuh' dan melewati beberapa bagian, tapi memang kayaknya cerita semacam ini khas sekali dengan sang penulis, Haruki Murakami ya? (Saya sedang membaca 1Q84 juga sekarang...)
Overall, saya menikmati tuturan Toru Watanabe, kisahnya dan cara pandangnya yang terbuka dan cenderung masa bodoh, namun saya juga sedikit jengkel dengan sikap masa bodohnya itu. Ada beberapa tokoh yang saya kurang suka.. nanti kalau kalian membacanya, pasti tau.
Tebak kedua tokoh ini namanya siapa... (lupa nama website untuk credits foto ini. Yang jelas dari mbah Gugel.)
Jika diringkas, Norwegian Wood adalah sebuah kisah pemuda Jepang yang mencari makna sebuah cinta melalui serangkaian teka-teki. Orang kian berdatangan, terkadang hanya meninggalkan hangat senyum, terkadang meninggalkan luka yang dalam. Toru Watanabe mencoba melaluinya dengan caranya sendiri, dan Ia yakin bahwa Ia bisa. Tetapi apa yang Ia harus lakukan jika orang yang Ia harapkan, tak yakin akan hal itu? Apakah Toru harus maju, atau diam saja?
Buku ini adalah buku pertama dari Haruki Murakami yang saya baca. Saya sempat membaca sinopsis 1Q84, dan lagi-lagi tidak mengerti. Saat itu juga buku yang punya tiga jilid (versi Jepangnya) belum lengkap edisi translate-nya. Jilid dua ada, tapi jilid satu nggak ada. Untung saja ada paketnya.
Buku ini meninggalkan atmosfir Jepang yang mendalam bagi saya. Ketika membacanya saya seperti berada disana, entah mengapa. Saya jadi ketagihan semua novel yang berlatar belakang di Jepang. Pingin kesana, kesini, ke toko disana, melihat bunga sakura.
Norwegian Wood adalah buku yang mendeskripsikan perasaan hampa dalam bayangan nafsu dan cinta. Menarik, seru, lucu dan mudah dipahami. Hanya satu, mungkin karena versi terjemahan, saya membacanya jadi agak jijik. Itu saja. At least, 3.8/5.
I'm currently reading his 1Q84, struggle with those pages.. Hope can be finished sooner!

Rabu, 31 Juli 2013

Part I: Conscious Recovery.



Sinar matahari yang menyusup melalui celah-celah dedaunan terpapar tepat ke arah mataku. Aku terbaring di atas akar sebuah pohon tua yang menyembul ke permukaan dengan dedaunan kusam yang menumpuk diatasnya. Aku tak ingin terbangun untuk duduk, entah mengapa, rasanya begitu nyaman dengan posisiku saat ini. Namun aku menyadari sesuatu. Suara penging ini memenuhi telingaku; semakin lama terdengar semakin melengking dan membuat kepalaku pening. Aku mencengkram lenganku sendiri dan menggertak ketika mengetahui seluruh tubuhku tiba-tiba mati rasa. Suara itu terdengar semakin hebat. Pandanganku akan sekitar menjadi kacau. Pepohonan itu terlihat berputar-putar sendiri dan mengkloning dirinya sendiri hingga lebih banyak dari sebelumnya. Ranting itu menjadi lebih besar daripada tanganku. Bahkan langit terlihat gelap dari beberapa detik sebelumnya. Aku memejamkan mataku dan menangis. Aku tidak mengerti... apakah rasa sakit ini?
Suara itu tiba-tiba mengecil dan aku mendengar suara burung Scarlet Tanager. Suara burung itu, yang tengah bernyanyian sedang mengistirahatkan sayapnya di sebuah dahan membuatku rindu akan sesuatu... Cengkraman tanganku meninggalkan bekas merah yang cukup menakutkan. Aku akhirnya menekuk lututku untuk duduk dan bersandar pada batang pohon dimana aku terbaring pada akarnya tadi. Degup jantungku kembali berdetak lebih cepat ketika aku mendengar suara langkah kaki yang menginjak dedaunan kering. Langkah itu semakin mendekat dan aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Aku baru saja mengalami hal yang sangat menyakitkan—walaupun tidak mengeluarkan darah sedikitpun. Telingaku mendengar suara nyaring dan melengking tanpa alasan, Aku berhalusinasi dan pandanganku menggelap hingga menjadi hitam pekat. Seluruh tubuhku tak bisa digerakkan dan mulutku seperti terkunci. Semua itu berlangsung sekitar.. oh, aku tidak ingat. Terasa lebih dari satu jam. Pandanganku jelas kembali ketika aku melihat seorang lelaki berambut cokelat, menyentuh lenganku dengan jarinya yang sedikit gempal, lalu menatap mataku dan tiba-tiba menoleh ke arah kanan.
“Ia terbangun!”
Seseorang di belakangnya, yang terlihat samar-samar menyentuh pundaknya dan berkata cukup keras.
“Kau membuatnya takut.” Dari suaranya, seseorang yang menyentuh pundak lelaki tadi adalah perempuan. “Sudah kubilang, jika Ia terbangun, panggil aku atau Seth. Lihat wajahnya, Ia kebingungan.” Lelaki tadi menggeram kesal. Perempuan itu mendekat ke arahku. “Gil, kau panggil Seth di sungai. Bilang padanya Lucy sudah terbangun.”
Lucy? Itukah namaku?
Lelaki tadi pergi sambil menghela nafas berat. Perempuan di depanku membersihkan dedaunan yang berjatuhan sekitarku. Aku menebak umurnya beberapa tahun lebih tua dariku. Garis-garis tipis pada dahinya terlihat sangat jelas. Rambutnya berwarna hampir mirip dengan lelaki yang kulihat pertama kali, berwarna cokelat namun yang miliknya sedikit lebih terang. Rambutnya sebahu, dengan ujung-ujung yang melengkung kedalam. Ia menggunakan tindik kecil di alis kanannya. Pada sesaat aku memperhatikan seluruh pohon yang membentang didepanku, pohon-pohon itu tidak memiliki celah kedepan untuk melihat pemandangan sedikitpun. Aku tersadar kini aku berada di tengah hutan—berdasarkan apa yang kulihat, karena pohon ada dimana-mana dan aku bisa mendengar suara tupai-tupai yang tengah mengukir kacang kenari tepat pada pohon di sampingku. Perempuan tadi merapikan sesuatu dalam ranselnya. Aku tidak tahu apakah barang itu, tetapi Ia cukup sibuk sampai-sampai Ia membelakangiku untuk beberapa menit. Ia tidak memberitahu namanya, tetapi Ia memberikanku air putih dalam botol kayu yang terasa dingin dan langsung berbalik untuk merapikan ‘sesuatu’ dalam ranselnya itu.
Aku mengumpulkan beberapa informasi yang baru kucerna. Yang pertama, namaku Lucy. Lelaki yang menemukanku bernama Gil. Seseorang di sungai yang belum kulihat sekarang bernama.. Seth? Nama yang eksotis. Kedua, aku berada di tengah hutan, mengalami hal yang menyakitkan. Ketiga, aku menggunakan baju berbahan katun dengan banyak lapisan. Keempat, perempuan itu masih sibuk dengan ‘sesuatu’ dalam ranselnya. Dan yang kelima, seluruh tubuhku mati rasa, lagi.
“Hei, Lucy. Perhatikan tanganku. Jika tanganku menunjukan jumlah sebuah angka, aku mohon kau menyebutkan berapa angkanya. Ini hanya tes kesadaran sementara, oke?” Perempuan itu membalikkan tubuhnya ke arahku dan mengarahkan tangannya di depan wajahku. Halusinasi itu datang lagi. Pohon disampingku, dengan dedaunan hijau itu tampak berputar-putar. Sekian lama warnanya berubah-ubah. Namun aku mencoba untuk memperhatikan perempuan di depanku. Ia masih berbicara beberapa kalimat yang tidak kumengerti. Aku kembali mendengar suara penging itu, kali ini suaranya menjadi berat dan lambat. Nafasku semakin tak beraturan. Suara perempuan itu terdengar seperti gaung dari kejauhan. Suaranya mengawang-awang, tertutup oleh suara penging yang mengusik telingaku.
“Perhatikan tanganku. Cobalah untuk tetap fokus.” Fokus. Aku memperhatikan tangannya yang bergerak kesana-kemari. Pikiranku tiba-tiba terpecah-pecah dan kepalaku menjadi pusing. Perempuan itu menggoyang-goyangkan badanku beberapa kali. “Lucy!” Suaranya semakin mengecil sampai aku tidak mengerti apa yang ia coba katakan. “Lucy, Berapakah angka yang—”
Semuanya menjadi gelap. Dan aku tahu aku tidak akan mampu menjawab tes kesadaran itu. Sedikitpun.
F