![]() |
Pictures courtesy to tumblr. Edited by me. :) |
Kelas
yang kutempati saat ini sedikit lebih ‘modern’ dibanding kelas sebelumnya. Ada
banyak perangkat, papan tulis pun mengkilat bersih (sepertinya baru dibeli),
kursi-kursi empuk yang tidak kaku seperti kayu. Saat pelajaran berlangsung, aku
memikirkan bagaimana jika aku tertidur di kelas karena kursi ini hampir mirip tempat tidur bagiku. Ada lemari besar untuk buku, jendelanya banyak,
jadi aku bisa melihat keluar.
Saat
aku hampir menyelesaikan catatanku, tiba-tiba aku melihat seorang laki-laki
yang berdiri di depan pintu. Ia mungkin ragu-ragu antara masuk ke dalam kelasku
atau tidak. Aku tidak pernah melihatnya sebelumnya. Tetapi ternyata Ia berjalan
masuk begitu saja, duduk di kursi sampingku dan tak mengucapkan apapun selama
beberapa menit. Sebelum ia berjalan ke arahku, aku mengira Ia mungkin pacar Ann,
perempuan yang sedang membaca buku itu, atau mungkin ada barang miliknya yang
tertinggal di kelas ini. Tapi ia malah duduk di sebelahku, dan memperhatikanku
menulis catatan itu.
“Hai,”
ucapnya kemudian, sembari menaruh ransel hitamnya ke atas meja. Aku menatapnya
sekilas dan ikut tersenyum. “Pelajaran Mr. Hadwick, ya? Tulisannya khas sekali.”
Aku tertawa kecil dan merapikan tempat pensilku. Ia terlihat seperti memikirkan
sesuatu, saat itu aku tidak tahu apa yang dipikirkannya.
“Mungkin
ini akan terdengar canggung,” Ia memiringkan wajahnya. “Tapi aku ingin
mengetahui namamu.” Matanya yang berwarna biru gelap bertemu mataku lagi. Dari
awal aku tidak merasa canggung dan ‘terpaksa’ ketika Ia duduk disampingku. Ia
terlihat nyaman, aku pun begitu. “Boleh kan?”
Aku
mengangguk dan tersenyum, kali ini memamerkan barisan gigiku. “Ruby. Namaku Ruby
Cattleree.”
Ia
tersenyum begitu lebar, sampai-sampai aku hampir tertawa. Rambutnya hitam dan
sedikit berantakan. Barisan giginya rapi sekali. Aku tidak tahu Ia kelas
berapa, bahkan tidak pernah melihat laki-laki ini sebelumnya. Namun tiba-tiba
Ia masuk, duduk disebelahku, menyapa dan menanyakan namaku. Sedikit aneh
memang, dan agak berbahaya karena aku tidak mengetahui sedikitpun tentangnya,
tetapi aku merasa Ia orang yang baik. Caranya duduk dan menatapku sangat mirip
dengan gaya Dad. Itulah alasanku merasa nyaman saat Ia mencoba berbicara
denganku.
“Aku
suka namamu.” Ucapnya setelah beberapa menit berlalu. “Mengingatkanku dengan
lagu Kaiser Chiefs.” Dari sekian orang yang baru berkenalan denganku, semuanya
mengatakan bahwa namaku mengingatkan mereka dengan batu permata berwarna merah
muda. Tapi Ia berbeda, namaku mengingatkannya dengan salah satu lagu band dari
Inggris yang bahkan belum pernah kudengar. “Kau harus mendengarnya.”
Ia mengetuk-ngetuk jarinya di meja dan mulai bernyanyi. “Let it never be said that the romance is dead, 'Cause there's so little else occupying my head... there is nothing I need except the function to breathe, But I'm not really fussed, doesn't matter to me..”
Aku
teringat pernah mendengarnya di radio mobil Dad sekitar beberapa bulan lalu.
Tapi aku tidak tahu siapa yang menyanyikannya, akupun tidak bertanya. Aku
mengingat bagian awal lagunya. Saat itu ketika mereka berada di mobil dan
memutar lagu ini, Dad menyanyikannya keras sekali.
Laki-laki
yang tak kuketahui namanya itu tersenyum dan menatapku, lalu berkata, “Lagu
yang bagus. Favoritku.”
Aku
terdiam karena tidak mengetahui apapun mengenai lagu itu. Sebetulnya, akupun
pemalu. Semua barang di atas mejaku sudah masuk ke dalam tas, sedangkan
laki-laki itu masih duduk di sebelahku. Sebentar-sebentar kepalanya memandang
keluar kelas, terkadang ikut membaca tulisan Mr. Hadwick. Namun saat ini Ia
memandangku dengan menopang wajahnya dengan jarinya yang panjang namun kurus.
“Aku
akan mendengarnya sepulang sekolah.” Akhirnya aku bersuara. Wajahnya mendongak
ke arahku dan rasanya semua syaraf di wajahnya tertarik karena senyumannya,
seakan-akan Ia berkata: ‘Itu jawabanmu
yang kutunggu-tunggu!’
“Aku
yakin kau akan menyukainya.” Sudahkah kubilang bahwa suaranya sangat enak
didengar? Tidak berat, tidak juga melengking, biasa-biasa saja, tetapi sangat
enak di telinga. Ia tiba-tiba menaruh tasnya di pundak dan berdiri. “Aku harus
pergi. Sampai jumpa, Ruby.”
Saat
itu Ia tersenyum lagi dan melambaikan tangannya kepadaku, lalu mulai berjalan
pergi. Langkahnya lambat dan sesekali Ia memandangku. Aku tidak bisa
menyembunyikan wajahku yang memerah, tetapi aku tahu apa yang ia pikirkan saat
Ia melangkah pergi.
“Hei
fan Kaiser Chiefs!” Ia berhenti tepat di tengah pintu, lalu menoleh kearahku,
menatapku seolah-olah ia tidak menginginkanku untuk memanggilnya. “Aku berjanji
padamu aku akan mendengarkan lagu itu,” Aku sedikit malu saat menatapnya. “Tapi
rasanya aneh jika aku berjanji dengan seseorang yang tidak kuketahui namanya.”
Ia
sedikit tertawa dan menatap sepatunya. "Panggil saja Gerard.”
Kukira saat itu Ia akan keluar dan meninggalkanku, tetapi ia malah mendekat dan
berdiri di depan mejaku. “Sebenarnya aku tidak ingin pergi, tapi aku harus.”
Aku masih di sini, batinku.
“Cobalah
untuk mendengar lagu itu sambil membaca lirik lagunya.” Pesannya sambil
menatapku lekat-lekat. “Kita pasti akan bertemu lagi.”
“Kita
pasti akan bertemu lagi,” Aku mengulang kalimatnya. Aku tidak begitu mengerti
tentang apa yang Ia katakan mengenai ‘kami akan bertemu lagi’, karena.. rasanya
aneh, namun aku mengharapkannya juga. ”Aku sangat senang bisa berbicara
denganmu, Gerard.”
“Aku
juga.” Lalu Ia melangkah keluar, tersenyum dan menghilang di kerumunan koridor
ketika aku mencoba mencarinya.
Gerard dan Kaiser Chiefs. Aku mencoba mengumpulkan semua informasi tentangnya.
Lalu aku berpikir apakah yang menyebabkannya begitu terburu-buru untuk pergi.
Tapi aku tidak tahu, mungkin Ia harus menjemput Ibunya atau membeli sesuatu.
Ini aneh. Aku pernah berkenalan dengan banyak orang, tapi.. tidak ada yang seperti dirinya. Ia menyuruhku mendengarkan sebuah lagu yang hampir saja terlupakan oleh diriku sendiri. Ia tersenyum seakan-akan aku adalah temannya. Tapi tidak, kami baru saja berkenalan tadi, selama hampir dua tahun berlalu aku bersekolah di sini. Aku memikirkan berbagai kemungkinan. Mengapa Ia berkenalan denganku? Mengapa tidak dengan yang lainnya? Entahlah. Jika kami tidak berkenalan dan mengobrol, mungkin Ia tidak akan menyuruhku mendengarkan lagu Kaiser Chiefs. Dan Gerard, mungkin Ia satu-satunya orang yang membuatku tergerak untuk melakukan apa yang Ia minta ketika pertama kali bertemu dengan seseorang yang tidak pernah kukenal.
Ketika aku meninggalkan sekolah, aku langsung pergi ke toko kaset Webble yang sering sekali kudatangi bersama Dad dan August. Semua CD Kaiser Cheifs, jawabku kepada wanita
muda yang sepertinya penjaga baru di toko ini saat Ia bertanya album apa yang kucari. Ia
lalu menunjukanku lemari bagian album yang disortir dari nama band berawalan
K. Wanita itu mengambilkanku dua album Kaiser Chiefs, yang hanya tersisa
tinggal satu-dua saja. Ia meninggalkanku dan kembali ke mejanya.
Album
yang kupegang saat ini berjudul Employment.Tampilannya
sederhana namun memikat, berwarna biru jeans
degan kertas kuning bertuliskan nama band dan nama album mereka. Album satunya
lagi berjudul Yours Truly, Angry Mob yang
sama sederhananya, namun kali ini seluruh anggota band itu terlihat di sampul
kover, menatap kamera namun tidak berpose. Ketika aku membalikkan kedua album
itu, terdapat barisan judul lagu dan ada, satu judul yang menarik hatiku.
Lagu
di urutan pertama, judulnya Ruby. Aku
langsung mengambil kedua album itu ke meja kasir. Siapa tahu Dad juga menyukai
album ini. Wanita muda itu lalu menatapku, “Pilihanmu bagus sekali,” Ia terlihat
ramah. “Kau suka mendengarkan mereka?”
“Aku
baru saja ingin mendengarnya.” Aku mengambil uangku, lalu mengambil kedua album
tadi. Wanita itu mengangguk, lalu tersenyum.
“Terima
kasih. Silakan kembali lagi kemari.” Aku berbalik dan pulang ke rumah,
menenteng plastik berisi kedua album Kaiser Chiefs, gara-gara seorang lelaki
bernama Gerard yang baru saja kutemui.
Aku tersadar bahwa hari ini adalah hari yang istimewa. Hari ini, aku bahagia.
(bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar