Minggu, 11 Agustus 2013

Between Kaiser Chiefs, there's you and me.

Pictures courtesy to tumblr. Edited by me. :)
Bel keempat tanda pulang dibunyikan tetapi aku masih sibuk di mejaku. Buku catatan, modul, bahkan jurnal harianku masih tertumpuk di meja. Hampir semua murid sudah berhamburan keluar kelas, termasuk Sierra yang harus mengikuti kursus balletnya. Untungnya aku tidak sendiri; masih ada beberapa temanku yang sibuk membicarakan tugas dan membaca buku-buku tebal di kursi mereka. Aku masih mencatat tulisan Mr. Hadwick (yang sangat sulit dibaca) dari papan tulis. Sebagian dari teman-temanku lebih suka memotret catatan para guru dibanding menulisnya, sedangkan aku kebalikannya.
Kelas yang kutempati saat ini sedikit lebih ‘modern’ dibanding kelas sebelumnya. Ada banyak perangkat, papan tulis pun mengkilat bersih (sepertinya baru dibeli), kursi-kursi empuk yang tidak kaku seperti kayu. Saat pelajaran berlangsung, aku memikirkan bagaimana jika aku tertidur di kelas karena kursi ini hampir mirip tempat tidur bagiku. Ada lemari besar untuk buku, jendelanya banyak, jadi aku bisa melihat keluar.
Saat aku hampir menyelesaikan catatanku, tiba-tiba aku melihat seorang laki-laki yang berdiri di depan pintu. Ia mungkin ragu-ragu antara masuk ke dalam kelasku atau tidak. Aku tidak pernah melihatnya sebelumnya. Tetapi ternyata Ia berjalan masuk begitu saja, duduk di kursi sampingku dan tak mengucapkan apapun selama beberapa menit. Sebelum ia berjalan ke arahku, aku mengira Ia mungkin pacar Ann, perempuan yang sedang membaca buku itu, atau mungkin ada barang miliknya yang tertinggal di kelas ini. Tapi ia malah duduk di sebelahku, dan memperhatikanku menulis catatan itu.
“Hai,” ucapnya kemudian, sembari menaruh ransel hitamnya ke atas meja. Aku menatapnya sekilas dan ikut tersenyum. “Pelajaran Mr. Hadwick, ya? Tulisannya khas sekali.” Aku tertawa kecil dan merapikan tempat pensilku. Ia terlihat seperti memikirkan sesuatu, saat itu aku tidak tahu apa yang dipikirkannya.
“Mungkin ini akan terdengar canggung,” Ia memiringkan wajahnya. “Tapi aku ingin mengetahui namamu.” Matanya yang berwarna biru gelap bertemu mataku lagi. Dari awal aku tidak merasa canggung dan ‘terpaksa’ ketika Ia duduk disampingku. Ia terlihat nyaman, aku pun begitu. “Boleh kan?”
Aku mengangguk dan tersenyum, kali ini memamerkan barisan gigiku. “Ruby. Namaku Ruby Cattleree.”
Ia tersenyum begitu lebar, sampai-sampai aku hampir tertawa. Rambutnya hitam dan sedikit berantakan. Barisan giginya rapi sekali. Aku tidak tahu Ia kelas berapa, bahkan tidak pernah melihat laki-laki ini sebelumnya. Namun tiba-tiba Ia masuk, duduk disebelahku, menyapa dan menanyakan namaku. Sedikit aneh memang, dan agak berbahaya karena aku tidak mengetahui sedikitpun tentangnya, tetapi aku merasa Ia orang yang baik. Caranya duduk dan menatapku sangat mirip dengan gaya Dad. Itulah alasanku merasa nyaman saat Ia mencoba berbicara denganku.
“Aku suka namamu.” Ucapnya setelah beberapa menit berlalu. “Mengingatkanku dengan lagu Kaiser Chiefs.” Dari sekian orang yang baru berkenalan denganku, semuanya mengatakan bahwa namaku mengingatkan mereka dengan batu permata berwarna merah muda. Tapi Ia berbeda, namaku mengingatkannya dengan salah satu lagu band dari Inggris yang bahkan belum pernah kudengar. “Kau harus mendengarnya.”



Ia mengetuk-ngetuk jarinya di meja dan mulai bernyanyi. Let it never be said that the romance is dead, 'Cause there's so little else occupying my head... there is nothing I need except the function to breathe, But I'm not really fussed, doesn't matter to me..”
Aku teringat pernah mendengarnya di radio mobil Dad sekitar beberapa bulan lalu. Tapi aku tidak tahu siapa yang menyanyikannya, akupun tidak bertanya. Aku mengingat bagian awal lagunya. Saat itu ketika mereka berada di mobil dan memutar lagu ini, Dad menyanyikannya keras sekali. 
Laki-laki yang tak kuketahui namanya itu tersenyum dan menatapku, lalu berkata, “Lagu yang bagus. Favoritku.”
Aku terdiam karena tidak mengetahui apapun mengenai lagu itu. Sebetulnya, akupun pemalu. Semua barang di atas mejaku sudah masuk ke dalam tas, sedangkan laki-laki itu masih duduk di sebelahku. Sebentar-sebentar kepalanya memandang keluar kelas, terkadang ikut membaca tulisan Mr. Hadwick. Namun saat ini Ia memandangku dengan menopang wajahnya dengan jarinya yang panjang namun kurus.
“Aku akan mendengarnya sepulang sekolah.” Akhirnya aku bersuara. Wajahnya mendongak ke arahku dan rasanya semua syaraf di wajahnya tertarik karena senyumannya, seakan-akan Ia berkata: ‘Itu jawabanmu yang kutunggu-tunggu!’
“Aku yakin kau akan menyukainya.” Sudahkah kubilang bahwa suaranya sangat enak didengar? Tidak berat, tidak juga melengking, biasa-biasa saja, tetapi sangat enak di telinga. Ia tiba-tiba menaruh tasnya di pundak dan berdiri. “Aku harus pergi. Sampai jumpa, Ruby.”
Saat itu Ia tersenyum lagi dan melambaikan tangannya kepadaku, lalu mulai berjalan pergi. Langkahnya lambat dan sesekali Ia memandangku. Aku tidak bisa menyembunyikan wajahku yang memerah, tetapi aku tahu apa yang ia pikirkan saat Ia melangkah pergi.
“Hei fan Kaiser Chiefs!” Ia berhenti tepat di tengah pintu, lalu menoleh kearahku, menatapku seolah-olah ia tidak menginginkanku untuk memanggilnya. “Aku berjanji padamu aku akan mendengarkan lagu itu,” Aku sedikit malu saat menatapnya. “Tapi rasanya aneh jika aku berjanji dengan seseorang yang tidak kuketahui namanya.”
Ia sedikit tertawa dan menatap sepatunya. "Panggil saja Gerard.” Kukira saat itu Ia akan keluar dan meninggalkanku, tetapi ia malah mendekat dan berdiri di depan mejaku. “Sebenarnya aku tidak ingin pergi, tapi aku harus.”
Aku masih di sini, batinku.
“Cobalah untuk mendengar lagu itu sambil membaca lirik lagunya.” Pesannya sambil menatapku lekat-lekat. “Kita pasti akan bertemu lagi.”
“Kita pasti akan bertemu lagi,” Aku mengulang kalimatnya. Aku tidak begitu mengerti tentang apa yang Ia katakan mengenai ‘kami akan bertemu lagi’, karena.. rasanya aneh, namun aku mengharapkannya juga. ”Aku sangat senang bisa berbicara denganmu, Gerard.”
“Aku juga.” Lalu Ia melangkah keluar, tersenyum dan menghilang di kerumunan koridor ketika aku mencoba mencarinya.
Gerard dan Kaiser Chiefs. Aku mencoba mengumpulkan semua informasi tentangnya. Lalu aku berpikir apakah yang menyebabkannya begitu terburu-buru untuk pergi. Tapi aku tidak tahu, mungkin Ia harus menjemput Ibunya atau membeli sesuatu. 
Ini aneh. Aku pernah berkenalan dengan banyak orang, tapi.. tidak ada yang seperti dirinya. Ia menyuruhku mendengarkan sebuah lagu yang hampir saja terlupakan oleh diriku sendiri. Ia tersenyum seakan-akan aku adalah temannya. Tapi tidak, kami baru saja berkenalan tadi, selama hampir dua tahun berlalu aku bersekolah di sini. Aku memikirkan berbagai kemungkinan. Mengapa Ia berkenalan denganku? Mengapa tidak dengan yang lainnya? Entahlah. Jika kami tidak berkenalan dan mengobrol, mungkin Ia tidak akan menyuruhku mendengarkan lagu Kaiser Chiefs. Dan Gerard, mungkin Ia satu-satunya orang yang membuatku tergerak untuk melakukan apa yang Ia minta ketika pertama kali bertemu dengan seseorang yang tidak pernah kukenal.
Ketika aku meninggalkan sekolah, aku langsung pergi ke toko kaset Webble yang sering sekali kudatangi bersama Dad dan August. Semua CD Kaiser Cheifs, jawabku kepada wanita muda yang sepertinya penjaga baru di toko ini saat Ia bertanya album apa yang kucari. Ia lalu menunjukanku lemari bagian album yang disortir dari nama band berawalan K. Wanita itu mengambilkanku dua album Kaiser Chiefs, yang hanya tersisa tinggal satu-dua saja. Ia meninggalkanku dan kembali ke mejanya.
Album yang kupegang saat ini berjudul Employment.Tampilannya sederhana namun memikat, berwarna biru jeans degan kertas kuning bertuliskan nama band dan nama album mereka. Album satunya lagi berjudul Yours Truly, Angry Mob yang sama sederhananya, namun kali ini seluruh anggota band itu terlihat di sampul kover, menatap kamera namun tidak berpose. Ketika aku membalikkan kedua album itu, terdapat barisan judul lagu dan ada, satu judul yang menarik hatiku.
Lagu di urutan pertama, judulnya Ruby. Aku langsung mengambil kedua album itu ke meja kasir. Siapa tahu Dad juga menyukai album ini. Wanita muda itu lalu menatapku, “Pilihanmu bagus sekali,” Ia terlihat ramah. “Kau suka mendengarkan mereka?”
“Aku baru saja ingin mendengarnya.” Aku mengambil uangku, lalu mengambil kedua album tadi. Wanita itu mengangguk, lalu tersenyum.
“Terima kasih. Silakan kembali lagi kemari.” Aku berbalik dan pulang ke rumah, menenteng plastik berisi kedua album Kaiser Chiefs, gara-gara seorang lelaki bernama Gerard yang baru saja kutemui.
Aku tersadar bahwa hari ini adalah hari yang istimewa. Hari ini, aku bahagia.

(bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar