Rabu, 31 Juli 2013

Part I: Conscious Recovery.



Sinar matahari yang menyusup melalui celah-celah dedaunan terpapar tepat ke arah mataku. Aku terbaring di atas akar sebuah pohon tua yang menyembul ke permukaan dengan dedaunan kusam yang menumpuk diatasnya. Aku tak ingin terbangun untuk duduk, entah mengapa, rasanya begitu nyaman dengan posisiku saat ini. Namun aku menyadari sesuatu. Suara penging ini memenuhi telingaku; semakin lama terdengar semakin melengking dan membuat kepalaku pening. Aku mencengkram lenganku sendiri dan menggertak ketika mengetahui seluruh tubuhku tiba-tiba mati rasa. Suara itu terdengar semakin hebat. Pandanganku akan sekitar menjadi kacau. Pepohonan itu terlihat berputar-putar sendiri dan mengkloning dirinya sendiri hingga lebih banyak dari sebelumnya. Ranting itu menjadi lebih besar daripada tanganku. Bahkan langit terlihat gelap dari beberapa detik sebelumnya. Aku memejamkan mataku dan menangis. Aku tidak mengerti... apakah rasa sakit ini?
Suara itu tiba-tiba mengecil dan aku mendengar suara burung Scarlet Tanager. Suara burung itu, yang tengah bernyanyian sedang mengistirahatkan sayapnya di sebuah dahan membuatku rindu akan sesuatu... Cengkraman tanganku meninggalkan bekas merah yang cukup menakutkan. Aku akhirnya menekuk lututku untuk duduk dan bersandar pada batang pohon dimana aku terbaring pada akarnya tadi. Degup jantungku kembali berdetak lebih cepat ketika aku mendengar suara langkah kaki yang menginjak dedaunan kering. Langkah itu semakin mendekat dan aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Aku baru saja mengalami hal yang sangat menyakitkan—walaupun tidak mengeluarkan darah sedikitpun. Telingaku mendengar suara nyaring dan melengking tanpa alasan, Aku berhalusinasi dan pandanganku menggelap hingga menjadi hitam pekat. Seluruh tubuhku tak bisa digerakkan dan mulutku seperti terkunci. Semua itu berlangsung sekitar.. oh, aku tidak ingat. Terasa lebih dari satu jam. Pandanganku jelas kembali ketika aku melihat seorang lelaki berambut cokelat, menyentuh lenganku dengan jarinya yang sedikit gempal, lalu menatap mataku dan tiba-tiba menoleh ke arah kanan.
“Ia terbangun!”
Seseorang di belakangnya, yang terlihat samar-samar menyentuh pundaknya dan berkata cukup keras.
“Kau membuatnya takut.” Dari suaranya, seseorang yang menyentuh pundak lelaki tadi adalah perempuan. “Sudah kubilang, jika Ia terbangun, panggil aku atau Seth. Lihat wajahnya, Ia kebingungan.” Lelaki tadi menggeram kesal. Perempuan itu mendekat ke arahku. “Gil, kau panggil Seth di sungai. Bilang padanya Lucy sudah terbangun.”
Lucy? Itukah namaku?
Lelaki tadi pergi sambil menghela nafas berat. Perempuan di depanku membersihkan dedaunan yang berjatuhan sekitarku. Aku menebak umurnya beberapa tahun lebih tua dariku. Garis-garis tipis pada dahinya terlihat sangat jelas. Rambutnya berwarna hampir mirip dengan lelaki yang kulihat pertama kali, berwarna cokelat namun yang miliknya sedikit lebih terang. Rambutnya sebahu, dengan ujung-ujung yang melengkung kedalam. Ia menggunakan tindik kecil di alis kanannya. Pada sesaat aku memperhatikan seluruh pohon yang membentang didepanku, pohon-pohon itu tidak memiliki celah kedepan untuk melihat pemandangan sedikitpun. Aku tersadar kini aku berada di tengah hutan—berdasarkan apa yang kulihat, karena pohon ada dimana-mana dan aku bisa mendengar suara tupai-tupai yang tengah mengukir kacang kenari tepat pada pohon di sampingku. Perempuan tadi merapikan sesuatu dalam ranselnya. Aku tidak tahu apakah barang itu, tetapi Ia cukup sibuk sampai-sampai Ia membelakangiku untuk beberapa menit. Ia tidak memberitahu namanya, tetapi Ia memberikanku air putih dalam botol kayu yang terasa dingin dan langsung berbalik untuk merapikan ‘sesuatu’ dalam ranselnya itu.
Aku mengumpulkan beberapa informasi yang baru kucerna. Yang pertama, namaku Lucy. Lelaki yang menemukanku bernama Gil. Seseorang di sungai yang belum kulihat sekarang bernama.. Seth? Nama yang eksotis. Kedua, aku berada di tengah hutan, mengalami hal yang menyakitkan. Ketiga, aku menggunakan baju berbahan katun dengan banyak lapisan. Keempat, perempuan itu masih sibuk dengan ‘sesuatu’ dalam ranselnya. Dan yang kelima, seluruh tubuhku mati rasa, lagi.
“Hei, Lucy. Perhatikan tanganku. Jika tanganku menunjukan jumlah sebuah angka, aku mohon kau menyebutkan berapa angkanya. Ini hanya tes kesadaran sementara, oke?” Perempuan itu membalikkan tubuhnya ke arahku dan mengarahkan tangannya di depan wajahku. Halusinasi itu datang lagi. Pohon disampingku, dengan dedaunan hijau itu tampak berputar-putar. Sekian lama warnanya berubah-ubah. Namun aku mencoba untuk memperhatikan perempuan di depanku. Ia masih berbicara beberapa kalimat yang tidak kumengerti. Aku kembali mendengar suara penging itu, kali ini suaranya menjadi berat dan lambat. Nafasku semakin tak beraturan. Suara perempuan itu terdengar seperti gaung dari kejauhan. Suaranya mengawang-awang, tertutup oleh suara penging yang mengusik telingaku.
“Perhatikan tanganku. Cobalah untuk tetap fokus.” Fokus. Aku memperhatikan tangannya yang bergerak kesana-kemari. Pikiranku tiba-tiba terpecah-pecah dan kepalaku menjadi pusing. Perempuan itu menggoyang-goyangkan badanku beberapa kali. “Lucy!” Suaranya semakin mengecil sampai aku tidak mengerti apa yang ia coba katakan. “Lucy, Berapakah angka yang—”
Semuanya menjadi gelap. Dan aku tahu aku tidak akan mampu menjawab tes kesadaran itu. Sedikitpun.
F

Tidak ada komentar:

Posting Komentar