Sinar
matahari yang menyusup melalui celah-celah dedaunan terpapar tepat ke arah mataku.
Aku terbaring di atas akar sebuah pohon tua yang menyembul ke permukaan dengan
dedaunan kusam yang menumpuk diatasnya. Aku tak ingin terbangun untuk duduk,
entah mengapa, rasanya begitu nyaman dengan posisiku saat ini. Namun aku
menyadari sesuatu. Suara penging ini memenuhi telingaku; semakin lama terdengar
semakin melengking dan membuat kepalaku pening. Aku mencengkram lenganku
sendiri dan menggertak ketika mengetahui seluruh tubuhku tiba-tiba mati rasa.
Suara itu terdengar semakin hebat. Pandanganku akan sekitar menjadi kacau.
Pepohonan itu terlihat berputar-putar sendiri dan mengkloning dirinya sendiri
hingga lebih banyak dari sebelumnya. Ranting itu menjadi lebih besar daripada
tanganku. Bahkan langit terlihat gelap dari beberapa detik sebelumnya. Aku
memejamkan mataku dan menangis. Aku tidak mengerti... apakah rasa sakit ini?
Suara
itu tiba-tiba mengecil dan aku mendengar suara burung Scarlet Tanager. Suara burung itu, yang tengah bernyanyian sedang
mengistirahatkan sayapnya di sebuah dahan membuatku rindu akan sesuatu...
Cengkraman tanganku meninggalkan bekas merah yang cukup menakutkan. Aku
akhirnya menekuk lututku untuk duduk dan bersandar pada batang pohon dimana aku
terbaring pada akarnya tadi. Degup jantungku kembali berdetak lebih cepat
ketika aku mendengar suara langkah kaki yang menginjak dedaunan kering. Langkah
itu semakin mendekat dan aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Aku baru
saja mengalami hal yang sangat menyakitkan—walaupun tidak mengeluarkan darah
sedikitpun. Telingaku mendengar suara nyaring dan melengking tanpa alasan, Aku
berhalusinasi dan pandanganku menggelap hingga menjadi hitam pekat. Seluruh
tubuhku tak bisa digerakkan dan mulutku seperti terkunci. Semua itu berlangsung
sekitar.. oh, aku tidak ingat. Terasa lebih dari satu jam. Pandanganku jelas
kembali ketika aku melihat seorang lelaki berambut cokelat, menyentuh lenganku dengan
jarinya yang sedikit gempal, lalu menatap mataku dan tiba-tiba menoleh ke arah
kanan.
“Ia
terbangun!”
Seseorang
di belakangnya, yang terlihat samar-samar menyentuh pundaknya dan berkata cukup
keras.
“Kau
membuatnya takut.” Dari suaranya, seseorang yang menyentuh pundak lelaki tadi
adalah perempuan. “Sudah kubilang, jika Ia terbangun, panggil aku atau Seth.
Lihat wajahnya, Ia kebingungan.” Lelaki tadi menggeram kesal. Perempuan itu
mendekat ke arahku. “Gil, kau panggil Seth di sungai. Bilang padanya Lucy sudah
terbangun.”
Lucy?
Itukah namaku?
Lelaki
tadi pergi sambil menghela nafas berat. Perempuan di depanku membersihkan
dedaunan yang berjatuhan sekitarku. Aku menebak umurnya beberapa tahun lebih
tua dariku. Garis-garis tipis pada dahinya terlihat sangat jelas. Rambutnya
berwarna hampir mirip dengan lelaki yang kulihat pertama kali, berwarna cokelat
namun yang miliknya sedikit lebih terang. Rambutnya sebahu, dengan ujung-ujung
yang melengkung kedalam. Ia menggunakan tindik kecil di alis kanannya. Pada
sesaat aku memperhatikan seluruh pohon yang membentang didepanku, pohon-pohon
itu tidak memiliki celah kedepan untuk melihat pemandangan sedikitpun. Aku
tersadar kini aku berada di tengah hutan—berdasarkan apa yang kulihat, karena
pohon ada dimana-mana dan aku bisa mendengar suara tupai-tupai yang tengah
mengukir kacang kenari tepat pada pohon di sampingku. Perempuan tadi merapikan
sesuatu dalam ranselnya. Aku tidak tahu apakah barang itu, tetapi Ia cukup
sibuk sampai-sampai Ia membelakangiku untuk beberapa menit. Ia tidak
memberitahu namanya, tetapi Ia memberikanku air putih dalam botol kayu yang
terasa dingin dan langsung berbalik untuk merapikan ‘sesuatu’ dalam ranselnya
itu.
Aku
mengumpulkan beberapa informasi yang baru kucerna. Yang pertama, namaku Lucy. Lelaki
yang menemukanku bernama Gil. Seseorang di sungai yang belum kulihat sekarang
bernama.. Seth? Nama yang eksotis. Kedua, aku berada di tengah hutan, mengalami
hal yang menyakitkan. Ketiga, aku menggunakan baju berbahan katun dengan banyak
lapisan. Keempat, perempuan itu masih sibuk dengan ‘sesuatu’ dalam ranselnya.
Dan yang kelima, seluruh tubuhku mati rasa, lagi.
“Hei,
Lucy. Perhatikan tanganku. Jika tanganku menunjukan jumlah sebuah angka, aku
mohon kau menyebutkan berapa angkanya. Ini hanya tes kesadaran sementara, oke?”
Perempuan itu membalikkan tubuhnya ke arahku dan mengarahkan tangannya di depan
wajahku. Halusinasi itu datang lagi. Pohon disampingku, dengan dedaunan hijau
itu tampak berputar-putar. Sekian lama warnanya berubah-ubah. Namun aku mencoba
untuk memperhatikan perempuan di depanku. Ia masih berbicara beberapa kalimat
yang tidak kumengerti. Aku kembali mendengar suara penging itu, kali ini suaranya
menjadi berat dan lambat. Nafasku semakin tak beraturan. Suara perempuan itu
terdengar seperti gaung dari kejauhan. Suaranya mengawang-awang, tertutup oleh
suara penging yang mengusik telingaku.
“Perhatikan
tanganku. Cobalah untuk tetap fokus.” Fokus. Aku memperhatikan tangannya yang
bergerak kesana-kemari. Pikiranku tiba-tiba terpecah-pecah dan kepalaku menjadi
pusing. Perempuan itu menggoyang-goyangkan badanku beberapa kali. “Lucy!”
Suaranya semakin mengecil sampai aku tidak mengerti apa yang ia coba katakan.
“Lucy, Berapakah angka yang—”
Semuanya
menjadi gelap. Dan aku tahu aku tidak akan mampu menjawab tes kesadaran itu.
Sedikitpun.
F
Tidak ada komentar:
Posting Komentar